Makalah Pendidikan Pancasila
MAKALAH
Judul :
ALIRAN AHMADIYAH
YANG DIANGGAP
MENYIMPANG DARI
AJARAN ISLAM
Tujuan :
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ahmadiyah
merupakan sebuah aliran yang pertama kali lahir di wilayah Punjab, India, tepatnya di kota Qadian pada tanggal 23 Maret 1899 M. Aliran ini didirikan oleh
Mirza Ghulam Ahmad dengan ajaran – ajaran yang menyimpang dari mayoritas umat
muslim di seluruh dunia. Dalam
perkembangannya aliran ini terbagi menjadi 2, yaitu Ahmadiyah Qadian dan
Ahmadiyah Lahore.
Aliran
ini mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) adalah seorang mujaddid
(pembaharu) dan menyebut dirinya Al-Mahdi dan Al-Masih (gelar yang berikan
kepada Nabi Isa AS ) serta menganggap dirinya adalah seorang nabi yang terakhir.
Dia menganggap dirinya sebagi Nabi Isa yang dijanjikan Allah akan turun dekat hari kiamat dan dia mengkafirkan orang yang tidak percaya
wahyu yang di bawanya atau tidak meyakini kenabianya. Hal ini bertentangan dengan dengan pandangan
umumnya kaum Muslim yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir
walaupun masih menunggu kedatangan Isa al-Masih dan Imam Mahdi. Disamping mempercayai
4 kitab suci yang diakui umat Islam yaitu Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur’an
mereka juga mempercayai kitab suci “Tadzkirah”. Kitab tersebut mencampuradukkan
beberapa ayat Al-Qur’an dengan kata-kata Mirza Ghulam Ahmad, masih banyak lagi
ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam pada umumnya.
Aliran ini berhasil membangun tujuan
utama untuk memecah belahkan tali persaudaraan umat muslim dan menjauhkan umat
muslim dari ajaran-ajaran yang di bawa oleh nabi Muhammad SAW. Aliran ini di
dukung oleh bangsa Inggris dengan segala sarana dan fasilitas, baik yang
bersifat materi ataupun non materi. Dan dibantu oleh kalangan Yahudi dengan
berbagai argumentasi.
Makalah ini kami susun untuk
mengetahui pokok-pokok ajaran-ajaran Ahmadiyah secara umum, dan apakah
ajaran-ajaran tersebut menyimpang dari ajaran-ajaran yang di bawa oleh nabi
agung Muhammad SAW.
1.2 Rumusan
Masalah
- Bagaimana awal mula terbentukmya aliran Ahmadiyah?
- Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan aliran
Ahmadiyah?
- Mengapa masyarakat pada umumnya menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat?
1.3 Tujuan
Penulisan
Makalah ini kami
buat guna memenuhi tugas Pendidikan Pancasila. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini sebagai
berikut :
- Mempelajari awal mula
terbentuknya Ahmadiyah.
- Mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan Ahmadiyah.
- Membahas aliran Ahmadiyah yang dianggap aliran sesat oleh masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lahirnya Aliran Ahmadiyah
Ahmadiyah adalah sebuah aliran yang
didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889
di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad
mengaku dirinya sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.
Ahmadiyah bukanlah suatu agama. Agamanya adalah ISLAM. Jemaat
Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah,
Muhammadur-rasulullah". Jemaat Ahmadiyah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan
melainkan Allah dan Muhammad itu adalah rasul Allah.
Ayah dari Mirza Ghulam Ahmad bernama Ghulam
Murtahdlo dan kakeknya bernama Atho Muhammad, sukunya adalah Mongol Barlas. Mirza Ghulam
Ahmad berasal dari suatu rumpun keluarga yang merupakan pendatang dari Samarkand,
sebuah kota di Asia Tengah. Nenek-moyangnya hijrah dari Samarkand menuju
Punjab, India pada awal abad ke-16, di masa kekuasaan Emperor Babar dari
Dinasti Moghul. Mereka memohon untuk dapat berkhidmat kepada dinasti tersebut
dan mendapat kepercayaan di kawasan Punjab. Suku
Mongol adalah suku dari Turki. Mirza sendiri mengatakan dirinya dari Mongol,
tapi dikesempatan lain dia mengatakan bahwa keluarganya berasal dari Persia. Mirza Hadi Beg
memimpin hijrah dari Samarkand tersebut menuju Punjab, India, dengan membawa
rombongan sekitar 200 orang. Mereka membangun sebuah perkampungan yang tidak
begitu jauh dari sungai Bias, dan menamakannya Islampur. Emperor Babar
memberikan kepada ia kawasan yang mencakup ratusan perkampungan. Dan Timur
ditunjuk sebagai Qazi disana. Sehingga kampung kediaman itu dikenal
dengan nama Islampur Qazi. Akhirnya nama ini tinggal Qazi dan
lebih dikenal dengan sebutan Qadi yang kemudian menjadi Qadian.
Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan kembar di Qadian pada tahun
1835. Saudara kembarnya (perempuan) wafat beberapa hari setelah lahir. Semenjak
kecil ia tidak pernah belajar di sekolah/madrasah ataupun suatu institusi
pendidikan formal. Pada usia sekitar 7 tahun (sekitar tahun 1841) ia dididik
oleh seorang guru privat yang bernama Fazl Ilahi. Ia seorang penduduk Qadian
dan penganut mazhab Hanafiah. Ia mengajarkan Al-Quran dan beberapa dasar buku
pelajaran bahasa Farsi. Pada usia 10 tahun Mirza Ghulam Ahmad dididik oleh guru
privat bernama Fazl Muhammad. Ia berasal dari Feroze-wala, Gujran-wala, dan
dari kelompok Ahli-Hadits. Ia mengajarkan dasar-dasar tata-bahasa Arab. Dan
pada usia 17 atau 18 tahun ia dididik oleh seorang guru Shiah, bernama Gul Ali
Shah. Guru ini mengajarkan lebih lanjut tata-bahasa Arab dan juga
mantik/logika. Selain itu ayahnya adalah seorang tabib yang mahir, maka ia pun
memperoleh pendidikan dalam bidang ilmu ketabiban ini. Dan ia mempunyai
kecenderungan banyak menelaah buku-buku. Terutama dari perpustakaan keluarga
yang masih terpelihara sejak turun-temurun.
Sejak tahun 1872 Mirza Ghulam Ahmad sudah giat membela Islam
membalas serangan-serangan dari kelompok Kristen dan kelompok Hindu khususnya
Arya Samaj dan Brahmu Samaj. Ia banyak menulis artikel-artikel berkenaan dengan
itu di berbagai media massa. Antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang
terbit dari Bangalore, Maysore, India Selatan, setiap 10 hari sekali. Kemudian
pada beberapa surat-kabar yang terbit dari Amritsar a.l: Wakil; Safir Hind;
Widya Prakash; dan Riaz Hind. Demikian pula pada Brother Hind
(Lahore), Aftab Punjab (Lahore), Wazir Hind (Sialkot), Nur
Afshan (Ludhiana) dan Isyaatus-Sunnah (Batala). Begitu juga pada Akhbar-e-Aam
(Lahore). Melihat serangan terhadap Islam semakin menjadi-jadi, dan tidak ada
upaya berarti yang dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam, Mirza Ghulam Ahmad as.
mulai menulis buku Barahiin Ahmadiyya. Jilid 1 dan 2 diterbitkan pada
tahun 1880; jilid 3 terbit pada tahun 1882; dan jilid 4 pada tahun 1884.
Intinya ia memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta
ketinggian/kemuliaan Kitab Suci Al-Quran dan Rasulullah SAW sebagai
perbandingan dengan agama Hindu, Kristen dan agama-agama lainnya.
Pada jilid pertama
ia lebih memfokuskan pada balasan serangan terhadap ajaran Arya Samaj yang
menghina Rasulullah SAW., Nabi Isa AS. dan Nabi Musa AS. serta yang menuduh
kitab-kitab suci para nabi tersebut adalah palsu. Disamping itu ia menyerang
akidah Arya Samaj yang menyatakan bahwa ruh tidak diciptakan oleh Tuhan,
melainkan telah ada dengan sendirinya sejak awal-permulaan.
Jilid kedua masih berkenaan dengan akidah-akidah Arya Samaj.
Kemudian mengenai kedudukan dan perlunya wahyu. Mengenai keunggulan Kitab Suci
Al-Quran atas kitab-kitab agama lainnya. Ia juga menekankan kaidah dasar
pembuktian kebenaran suatu agama yang harus berdasarkan pada kitab suci yang
diakui oleh agama itu sendiri. Pada jilid
ketiga ia merinci keindahan dan kemuliaan Al-Quran. Ia menjawab
serangan-serangan yang ditujukan kepada Al-Quran. Dan ia menyatakan bahwa ia
menerima wahyu-wahyu dari Allah Ta'ala dan ia bersedia untuk membuktikan
kebenarannya. Pada jilid keempat
ia membahas tentang bentuk asli bahasa umat manusia, tentang
kedudukan mukjizat dan pentingnya nubuatan-nubuatan/ khabar-ghaib seorang nabi
berkenaan masa mendatang. Ia memaparkan konsep-konsep agama Budha, Kristen dan
Hindu Arya Samaj tentang Tuhan, dan membuktikan keunggulan ajaran Islam. Dan
kitab-kitab Yahudi pun ia paparkan sebagai perbandingan dengan Al-Quran.
Sebelumnya, Mirza Ghulam Ahmad tidak begitu dikenal. Dan ia
berjuang sendirian. Namun setelah penerbitan buku Barahiin Ahmadiyyah,
keadaan menjadi berubah dan ia mulai dikenal dan tampil secara terbuka.
Semenjak awal tahun 1883 sudah banyak orang yang mengutarakan
keinginan mereka untuk bai'at di tangan ia. Namun ia belum dapat menerimanya
sebab belum ada petunjuk dari Allah Ta'ala.
Akhirnya setelah ada petunjuk dari Allah Ta'ala pada bulan Februari atau
Maret 1888, maka pada akhir tahun 1888 ia menyebarkan selebaran undangan untuk
bai'at, yang ia tujukan kepada para pencari kebenaran. Dan pengambilan bai'at
yang pertama berlangsung di Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889. Pada bai'at
pertama ini sebanyak 40 orang menyatakan ikrar bai'at mereka di tangan Mirza
Ghulam Ahmad. Inilah yang dinyatakan sebagai peletakan fondasi pertama dari
Jemaat Ahmadiyah.
2.2 Pertumbuhan dan perkembangan
Ahmadiyah
Pertumbuhan dan
perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase
kebangkitan, fase menghadapi ujian, dan fase perpecahan. Dan pengembangan.
A.
Fase Kebangkitan (1880-1900)
Pada fase ini,
Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran
Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan
kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Di samping itu, ia juga aktif berdakwah
dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan dikalangan masyarakat luas.
Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh
berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat Islam pada umumnya.
Dalam hubungan ini al-Maududi
menjelaskan, bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali
Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang
cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia berusaha
menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan
kebenaran yang diyakininya itu.
Timbulnya reaksi
keras tersebut amatlah mungkin, karena pernyataannya yang dipandang aneh oleh
masyarakat yaitu, bahwa untuk membangun
suatu umat yang telah mengalami kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu
masih diperlukan wahyu Tuhan (yang baru). Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa
wahyu itu tidak terbatas di masa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman
kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, di saat yang
sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujjadid atau renovator abad ke 14 H, karena ia merasa telah ditunjuk oleh
Tuhan unuk mempertahankan Islam. Di Tahun itu pula pernyataan-pernyataannya
yang mengejutkan itu dikumpulkannya sendiri menjadi sebuah buku dan baru
diterbitkan di tahun 1884 yang dikenal dengan Barahiin Ahmadiyah.
Dalam buku ini dibicarakan pula tentang kebenaran Islam yang lebih bersifat
apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan Mirza Ghulam Ahmad terhadap
serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, dan kaum misionaris.
Dalam
merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara
terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk
menerima Baiat dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun
suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna
menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan
mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat.
janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai’atan, ia
mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat
Ahmadiyah.
Nama Ahmadiyah,
tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi menurut Mirza
nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah, demikian penjelasan
Maulana Muhammad ‘Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari surat as-Saf: 6,
yang isinya memuat informasi Nabi Isa kepada Bani Isra’il, bahwa sesudahnya
nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya, Mirza
sendiri kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam As-Shaf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh
Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya.
Adapun pernyataan
Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras adalah sebagai
berikut:
“Di antara beberapa pengajaran dan
pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibnu Maryam itu telah wafat
secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan
Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya),” Bahwa al Masih dan
al-Mahdi yang di janjikan dan di tunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan
Kami (Allah) melakukan apa yang Kami
kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat
kedustaan”. Allah berfirman lagi:
”Sesungguhnya,Kami(Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam”. Maka
Allah pun melimpahkan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat
masalah-masalah yang sekecil-kecilnya”.
Pengakuan sebagai
al-Mahdi dan
sekaligus merupakan penjelmaan ‘Isa al-Masih yang menerima wahyu secara
berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan pengalaman
rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut
menggelisahkan umat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai
bid’ah dan karenanya mereka di kucilkan dari komunitas
Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam.
Dari kenyataan di
atas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang permusuhan yang
dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri,disamping ia harus menghadapi
tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu.Terpisahnya
kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para pengikutnya yang
dikenal dalam masyarakat sebagai golongan Mirzais atau Qodianis, dan sudah
dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi satu kelompok aliran baru dalam Islam.
Nama “Ahmadiyah”, oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal
4 November 1900, dan sejak
itulah nama aliran ini di masukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.
B.
Fase Menghadapi Ujian (1900-1908)
Jemaat Ahmadiyah
sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan
mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara trang-terangan
di tahun 1900, mendakwahkan Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul
Tuhan. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah seorang
propagandisnya, Maulawi ‘Abd al-Karim menyatakan dalam khutbah Jum’atnya
sebagai berikut:
“Ketahuilah olehmu,bahwasanya kamu
sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau’ud (Mirza Ghulam Ahmad)
mengenai apa saja yang kalian perselisihkan,dan tidak mengimaninya sebagaimana
para sahabat mengimani Rasulullah SAW,maka kalian tergolong orang -orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah
dan bukan pengikut Ahmadiyah.”
Namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh
mubalighnya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang
banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya. Adapun istilah
“nabi”yang dimaksud adalah an-Nabiyyun-
Naqis atau an-Nabiyyul- Muhatddas. Tampaknya
sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua
golongan, sesudah pendirinya wafat.
Dalam perkembangan
selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun
1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa mirza dalam
beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya denagn
menggunakan term tersebut di atas.
Dalam kegiatan
dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi
yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya
melalui majalah bulanan berbahasa inggris seperti Review of religions from
Qadian, sebagai media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan
mendapat tantangan melalui berbagai mass media. Memang yang menjadi misi
kemahdiannya di berbagai negeri di Barat adalah untuk meneruskan pandangan
mereka yang keliru terhadap Islam. Rencananya ini lebih lanjut dikembangkan
oleh pengikutnya sesudah wafat kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris,
sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922. Keinginan menyebarkan ide
kemahdiannya di Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul
Haq yang ditulis dua tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan
al-Mahdi yang dijanjikan.
Disamping
keberhasilannya yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam
mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern umat Islam.
Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang
dimajukan Mirza, sangat kontradikktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh
umat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah nabi Muhammad SAW. Apa pun argumen
yang dimajukannya, hal itu sulit diterima oleh mayoritas umat Islam. Akibat
perbedaan yang principal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga
terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian
diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah
dengan muslim lain yang non-muslim.Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad
‘Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan
permusuhan yang dialamatkan kepada
aliran yang baru lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapatkan pembelaan dari
siapa pun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan
mereka dipandang tidak sah dan barang-barang
milik mereka, halal dirampas tanpa dituntut di pengadilan. Akan tetapi
mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dari golongan
Islam, Hindu dan Kristen itu.
Setelah Mirza
merasa sudah dekat ajalnya, ia menyerahkan tugas kemahdiannya kepada
penggantinya yang masih muda usianya, untuk menyebarkan kebenaran Islam yang
telah didakwahkannya. Ia pada akhir April 1908, pergi ke lahore dan menjalin hubungan persaudaraan antara
orang-orang hindu dan Islam. Ia menderita sakit diare yang kronis, dan pada 26
Mei 1908, ia menghembuskan nafas terakhirnya dan jenazahnya dimakamkan di
Qadian. Dalam hubungan ini al-Maududi
menjelaskan bahwasannya Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang yang banyak menderita
berbagai macam penyakit, sebagaimana yang diceritakan lewat tulisan-tulisan
Mirza sendiri dan para pengikutnya.
Dalam kegiatan
dakwahnya, aliran Ahmadiyah ini tampaknya cukup mendapat sambutan di kalangan
masyarakat Kristen di Barat yang sedang dilanda oleh krisisi spiritual di satu
pihak, dan di pihak lain masyarakat barat yang telah memperoleh kemajuan
berpikir dan tidak loyal lagi terhadap Gereja, karena ajarannya yang Dogmatis
dan sulit mereka cerna itu. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan aliran
Baha’I di Eropa dan Amerika Serikat di bawah pimpinan ‘Abbas Affandi yang
menfokuskan kegiatan propagandanya di kalangan Kristen dan Yahudi, sesudah
aliran ini gagal mempengaruhi ummat Islam.
C. Fase Perpecahan
dan Pengembangan (1908-1924)
Keutuhan dan
kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya, Mirza
Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini hanya bekerja sesuai dengan wasiatnya yang
ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan
“Khalifah” sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nurrudin sampai wafatnya tahun 1914.
Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan
mulai dikenal di kalangan umat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan
di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua
pemikiran yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar tentang
masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar
masalah pengkafiran terhadap sesama muslim.
Pemikiran pertama,
erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai
gerakan Mahdi yang memilih jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri
maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu faktor penyebab
perpecahan dari dalam. Dan pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan deengan
doktrin Mahdiisme Ahmadiyah saja, Akan tetapi juga berhubungan dengan
prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan
di kalangan Ahmadiyah, terutam sesudah Maulawi Nurrudin wafat. Dalam kaitan
ini, Maulana Muhammad ‘Ali menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan
keyakinannya yaitu : Barangsiapa yang
tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau
tidak, apakah (Mirza ) sebagai muslim, atau Mujaddid. Atau sebagai al-Masih dan
al-Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari Islam,
kecuali mereka secara formal telah membaiatnya. Golongan kedua berpendapat,
bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat, mereka adalah
muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun
dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia mengingkari kerasulan Nabi
Muhammad. Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan
masalah yang dipertentangkan di antara kedua golongan tersebut.
Sejak munculnya
dua pendapat yang kontroversial dari intern Ahmadiyah ini, maka secara riilnya
di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah sekte
Ahmadiyah Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan
sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW.
Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan
bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi
juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya.
Adapun golongan
kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah
Anjuman Isha’at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini di kenal denagn
gerakan Ahmadiyah Indonesia (GIA). Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin
oleh Maulawi Muhammad ‘Ali.an Syafi R.
Batuah sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat , bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah
Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad ‘Ali dalam mencapai
ambisinya untuk menjadi Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya
memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan tetapi,
yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah.
Setelah Ahmadiyah
menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan
Mahdiisme ini terpecah menjadi dua
aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali. Akan
tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan
cita-cita kemahd iannya, terutama di
kalangan masyarakat Kristen barat. Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat
kegiatan, menterjemahkan al-Quran dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa
asing.
2.3 Pertumbuhan Ahmadiyah di Indonesia
Jemaat
Ahmadiyah pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1925. Latar belakangnya
adalah sikap keingin-tahuan beberapa pemuda Indonesia yang berasal dari
pesantren/madrasah Thawalib, Padang Panjang, Sumatra Barat.
Thawalib yang beraliran modern,
berbeda dengan institusi-institusi Islam ortodox pada masa itu. Misalnya, para
santrinya tidak hanya mendalami Bahasa Arab maupun Arab Melayu tetapi juga
sudah diperkenankan membaca tulisan Latin.
Beberapa santrinya membaca di dalam
sebuah surat-kabar tentang orang Inggris yang masuk Islam di London melalui
seorang da'i Islam berasal dari India, Khwaja Kamaluddin. Hal ini sangat
menarik perhatian mereka. Dan inilah yang mendorong beberapa santri tersebut
untuk mencari tokoh itu. Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin
adalah tiga orang santri Thawalib yang berangkat untuk tujuan tersebut.
Awalnya
mereka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat
Studi Islam. Namun guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara
tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Mereka sampai di
Lahore (masa itu masih India, kini masuk wilayah Pakistan) pada tahun 1923.
Dari Lahore mereka lebih dalam masuk
ke Qadian dan berdialog dengan pimpinan Jemaat Ahmadiyah pada saat itu,
Khalifatul Masih II. Dan akhirnya mereka bai'at dan belajar di Qadian mendalami
Ahmadiyah.
Merasa
puas dengan pengajaran disana, mereka mengundang rekan-rekan pelajar di
Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian 23 orang pemuda
Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan 3 pemuda terdahulu untuk
melanjutkan studi juga baiat masuk kedalam Ahmadiyah.
Atas permohonan mereka kepada
Khalifatul Masih II, maka dikirimlah utusan pertama Jemaat Ahmadiyah ke
Indonesia pada 17 Agustus 1925. Yaitu Maulana Rahmat Ali HAOT. Tepatnya tanggal
2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian
berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang biasa
menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Jemaat Ahmadiyah mulai
resmi berdiri sebagai organisasi. Tak lama kemudian Maulana Rahmat Ali
berangkat ke Jakarta. Mulai dari itu banyak jemaat/cabang-cabangnya berdiri di
Jawa Barat dan kawasan-kawasan lainnya. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin
cepat, hingga terbentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan
R.Muhiyyin sebagai ketua pertamanya.
Di
era tahun 50-an, Jemaat Ahmadiyah mendapat legalitas menjadi suatu organisasi
keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri
Kehakiman RI No. JA.5/23/13 tertanggal 13-03-1953. Ahmadiyah tidak pernah
berpolitik, meskipun ketegangan politik pada saat 1960-an sangat tinggi. Di era
1970-an melalui Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non
muslim, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Pada periode
90-an Ahmadiyah berkembang pesat dengan diluncurkannya Moslem Television
Ahmadiyah (MTA). Ketika pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia
setelah jajak pendapat dan menyatakan ingin lepas dari Indonesia. Hal ini
memberikan kesempatan kepada Majelis khuddamul Ahmadiah Indonesia untuk
mengirimkan tim Khiqmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka.
Saat ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia
dengan 181 jemaat lokalnya (cabang) telah berdiri di seluruh provinsi di
Indonesia. Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia sejak tahun 1935 berada di Jakarta.
Dan pada tahun 1987 pindah ke Parung, Bogor.
2.4 Pokok-pokok ajaran Ahmadiyah
Mirza Ghulam Ahmad
mengaku dirinya Nabi dan Rasul utusan Tuhan. Dia mengaku dirinya menerima wahyu yang turunnya
di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan seluruhnya, sehingga merupakan
sebuah kitab suci dan mereka beri nama kitab suci Tadzkirah. Tadzkirah itu
lebih besar dari pada kitab suci Al-Quran.
1.
Mereka
meyakini bahwa kitab suci Tadzkirah sama sucinya dengan kitab suci Al-Quran karena sama-sama wahyu Tuhan.
2.
Wahyu tetap
turun sampai hari Kiamat begitu juga Nabi dan Rasul tetap diutus sampai hari
kiamat juga.
3.
Mereka
mempunyai tempat suci tersendiri yaitu Qadian dan Rabwah.
4.
Mereka
mempunyai surga sendiri yang letaknya di Qadian dan Rabwah dan sertifikat kavling surga tersebut dijual kepala jamaahnya dengan harga yang sangat
mahal.
5.
Wanita
Ahmadiyah haram nikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, tetapi lelaki
Ahmadiyah boleh menikah dengan perempuan yang bukan Ahmadiyah.
6.
Tidak boleh
bermakmum dengan (dibelakang) imam yang bukan Ahmadiyah.
7.
Ahmadiyah
mempunyai tanggal, bulan, dan tahun sendiri yaitu :
1)
Suluh
2)
Tabligh
3)
Aman
4)
Syahadah
5)
Hijrah
6)
Ikhsan
7)
Wafa
8)
Zuhur
9)
Tabuk
10) Ikha
11) Nubuwah
12) Fatah
Sedangkan nama tahun mereka adalah
Hijri Syamsyi (disingkat HS).
2.5
Perbandingan
Faham Ahmadiyah Qadianiyah dengan Mayoritas Umat Islam
Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan
masalah-masalah yang terkait agama dengan perbandingan pandangan Ahmadiyah Qadianiyah
dengan mayoritas umat Islam. Kesalahpahaman besar yang harus diluruskan adalah
bahwa antara Ahmadiyah Qadainiyah dan Islam tidak ada hubungan apapun. Mereka
hanya menipu dan bersembunyi dibalik nama Islam.
Dalam masalah
Al-Mahdi Al-Masih, menurut pandangan Ahmadiyah Al-Qadianiyah Al Masih
yang dijanjikan kedatanganya bukanlah pribadi nabi Isa yang diutus kepada Bani
Israil, melainkan salah seorang umat Muhammad yang mempunyai persamaan dengan
Isa al-Masih. Dengan demikian tokoh itu
pulalah yang disebut al-Mahdi. Jadi
al-Masih dan al-Mahdi itu satu pribadi. Tokoh yang diyakini sebagai
Imam Mahdi sekaligus al-Masih itu adalah Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan menurut Mayoritas Umat Islam
meyakini bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa adalah dua manusia yang berbeda. Imam Mahdi itu bukan Mirza Ghulam Ahmad
karena dia bukan keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW dan tidak pula sempat menjadi
pemimpin di wilayah Arab. Rasulullah
bersabda: ”Dunia ini tidak akan berlalu sampai suatu masa akan hadir di muka bumi
ini keturunan dari keluargaku, yang namanya akan menggunakan namaku dan
memimpin wilayah jazirah Arab”.
Untuk masalah
Kenabian (Nubuwwat) menurut Ahmadiyah Qadianiyah, visi
dan misi kenabian tidak pernah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW,
tetapi terus berlanjut sehingga memungkinkan untuk menghadirkan kembali
nabi-nabi yang lain pasca Muhammad.
Dalam hal ini menurut Ahmadiyah Qadianiyah, kata “khatam” yang
disematkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagai Nabi penutup bukan bermakna “penutup atau terakhir” melainkan
“lebih mulia”. Adanya ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan tentang khatam tersebut harus dimaknai sebagai “lebih hebat
dan mulia diantara nabi-nabi sebelumnya”, tetapi bukan berarti kenabian telah selesai. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi pasca Muhammad
kendati sebatas Nabi Zhilli Ghair al-Tsyri’ (Nabi Buruzi). Menurut mayoritas umat Islam Nabi Muhammad
SAW adalah Nabi penutup.
Untuk masalah wahyu
Ahmadiyah Qadianiyah menilai
keberadaan wahyu tidak hanya terbatas sampai pada Nabi Muhammad SAW, setelah Nabi
Muhammad meninggal wahyu Tuhan akan masih tetap turun, dan bahkan sampai hari
akhir. Wahyu tidak hanya
diperuntukan bagi para nabi dan para rasul
saja, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan benda mati. Wahyu yang
terputus sesudah Rosulullah adalah wahyu tasyri’ atau wahyu syariat, bukan
wahyu mutlak, dimana jenis wahyu terakhir itu tidak dikhususkan untuk nabi
saja, akan tetapi diberikan juga untuk selain mereka. Sedang menurut mayoritas umat Islam wahyu
terputus sejak wafatnya nabi Muhammad SAW.
Masalah tentang
khalifah, menurut Ahmadiyah Qadianiyah setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal
(1908), berdirilah khalifah dalam Jemaat Ahmadiyah yang kemudian dikenal dengan
sebutan khalifah Al-Masih. Doktrin
kholifah Al Masih didasarkan pada wasiat Mirza Ghulam Ahmad sendiri tentang
harus adanya khalifah sepeninggal dia.
Bagi Ahmadiyah Qadianiyah, khalifah yang akan berfungsi menggantikan seorang
nabi setelah ia wafat dan sebelum datangnya nabi berikutnya adalah
khalifah. Dialah yang mewarisi tampuk
pimpinan jemaat, dan sekaligus mewarisi kesucian rohani sehingga akan menerima
pula wahyu dari Allah. Sedang menurut
mayoritas umat Islam khalifah adalah seseorang yang dijadikan pengganti dari
yang lain atau seseorang yang diberi wewenang untuk
bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari
yang memberi wewenang. Sesudah
Rasulullah SAW meninggal, para pengganti ia disebut khalifah, yakni sebagai
kepala negara dan sekaligus pemimpin agama.
Tetapi, tidak mengganti kedudukan Rasulullah SAW sebagi penerima
“wahyu”, kecuali hanya pemimpin negara dan penggerak dakwah Islam ke segenap
penjuru dunia.
Tentang Jihad
Ahmadiyah Qadianiyah pada awalnya Ahmadiyani Qadianiyah memahami bahwa dalam
jihad bisa terkandung makna qital (perang) yang disebut dengan jihad
asghar. Akan tetapi, sekarang ini (abad
ke20), Ahmadiyah Qadianiyah menganggap tidak ada lagi jihad asghar, yang ada
hanya jihad akbar dan jihad kabir, yang mana hal itu bisa dilakukan dengan pena
atau dengan lisan. Menurut mereka, untuk
saat ini, jihad dalam bentuk perang sudah tidak sesuai lagi. Dalam kaitannya dengan pemerintah, Ahmadiyah Qadianiyah
berpandang bahwa umat Islam harus setia dan taat meski terhadap pemerintah
penjajah, asal pemerintah itu tidak mengganggu dakwahnya. Menurut mayoritas
umat Islam jihad tetap bisa dipahami bisa dalam bentuk jihad akbar, kabir dan
asghar. Tetapi mereka tidak sependapat
kalau jihad identik dengan qital atau perang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa
aliran Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya atau
sudah menyimpang dari apa yang telah disampaikan atau ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Aliran tersebut mempercayai adanya nabi terakhir setelah Rasulullah SAW
yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Dia
menganggap bahwa dirinya adalah Imam Mahdi dan al Masih, sedangkan mayoritas
umat Islam meyakini bahwa Imam Mahdi dan al Masih adalah dua orang yang
berbeda.
Dalam perkembangannya Ahmadiyah
terbagi menjadi dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qadiyan (Anjuman Ahmadiyah) dan
Ahmadiyah Lahore (Anjuman Ishaat Islam Lahore). Kedua aliran tersebut mengakui
kepemimpinan dan mengikuti ajaran Mirza Ghulam Ahmad.
Ahmadiyah Qadiyan mengakui bahwa Mirza
Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai
nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Sedangkan
Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza hanyalah mujaddid (pembaharu) dan
tidak disetarakan dengan posisi nabi.
3.2 Saran
Dari uraian yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya,
maka saran-saran dari penulis adalah sebagai berikut :
1.
Di Indonesia Ahmadiyah dianggap
aliran sesat, maka sudah sewajarnya mereka mengkaji ulang ajaran-ajaran yang
mereka pelajari, lebih mendalami lagi tentang ajaran Islam yang sebenarnya
sesuai dengan As Sunah dan Al Qur’an.
DAFTAR RUJUKAN
Dzahir, Ihsan Ilahi. 2008. Ahmadiyah Qadianiyah. Jakarta : Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI.
http://abunaweed.blogspot.com/2008/01/12-butir-penjelasan-jemaat-ahmadiyah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah
https://kabarnet.wordpress.com/ahmadiyah-vs-ummat-islam/
http://isnandi.net/2005/08/03/ahmadiyah-dan-kebebasan-beragama/
http://tausyiah275.blogspot.com/2005/07/tentang-ahmadiyah.html (blog)
http://wapedia.mobi/id/Ahmadiyyah
http://www.alislam.org/indonesia/latar.html#Latar
Komentar
Posting Komentar